METODOLOGI IJTIHAD DAN FATWA DEWAN SYARIAH WAHDAH ISLAMIYAH


📖 METODOLOGI IJTIHAD DAN FATWA DEWAN SYARIAH WAHDAH ISLAMIYAH

Mukadimah
Dewan Syariah Wahdah Islamiyah (DSA WI) merupakan lembaga dalam ruang lingkup ormas Wahdah Islamiyah yang diberikan amanah untuk mengawal dan memberikan solusi atas setiap permasalahan yang berkaitan dengan syariat Islam dalam ruang lingkup internal Wahdah Islamiyah secara khusus begitu juga permasalahan-permasalahan syariat yang terjadi dan berkembang secara eksternal di luar lembaga Wahdah Islamiyah yang membutuhkan tanggapan dan penyikapan oleh DSA WI.
Penyikapan terhadap masalah syariat yang terjadi memerlukan sebuah pendalaman dan penelitian yang bersifat syamil (komprehensif) dan terarah. Oleh karena itu, DSA WI memandang perlu untuk menetapkan metode ijtihad dan fatwa yang dijadikan sebagai panduan umum oleh DSA WI dalam memutuskan setiap perkara-perkara syariat yang disampaikan ke DSA WI.
Metode ijtihad dan fatwa DSA WI akan dijelaskan melalui poin-poin berikut ini:
A. Ijtihad dan Fatwa.
1. Kedudukan dan urgensi ijtihad dan fatwa dalam Islam;
2. Urgensi ijtihad dan fatwa jama’i (kolektif);
B. Pandangan DSA WI terhadap mazhab-mazhab fikih.
C. Pandangan DSA WI terhadap sumber hukum Islam yang disepakati:
1. Alquran;
2. As-Sunnah (Al-Hadis);
3. Ijma;
4. Qiyas.
D. Pandangan DSA WI terhadap sumber hukum yang diperselisihkan:
1. Istishhab;
2. Qaul Sahabi;
3. Syar’u man Qablana;
4. Istihsan;
5. Mashlahah Mursalah.
E. Pandangan DSA WI terhadap kedudukan akal dalam pengambilan hukum. 
F. Pandangan DSA WI terhadap masalah yang diperselisihkan (At-Ta’arudh wa At-Tarjih). 
G. Mekanisme ijtihad dan fatwa kolektif DSA WI.

A. Ijtihad dan Fatwa

1. Kedudukan dan urgensi ijtihad dan fatwa dalam Islam.
DSA WI memandang:
a. Ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan dan usaha untuk melihat dan meneliti dalil-dalil syar’i yang digunakan untuk sampai kepada kesimpulan hukum-hukum syariat.
b. Ijtihad diperlukan dalam persoalan-persoalan yang tidak terdapat nash yang jelas dalam masalah tersebut.
c. Ijtihad yang shahih adalah ijtihad yang didasari oleh:
1) Pemahaman yang utuh terhadap dalil-dalil syar’i yang muktabar.
2) Pemahaman tentang Maqashid dan kaidah-kaidah Syariah secara umum.
3) Pengetahuan tentang Nasikh dan Mansukh, Asbabun Nuzul, persoalan-persoalan ijma dan khilaf, dan keshahihan dan kelemahan derajat sebuah hadis.
4) Pengetahuan dan pemahaman Bahasa Arab yang memadai.
5) Pengetahuan tentang dalil-dalil Al-Amm wal Khash, al-Mutlaq wal Muqayyad, An-Nash wa Az-Zhahir wa Al-Muawwal, al-Mujmal wal Mubayyan, Al-Mantuq wal Mafhum, Al-Muhkam wal Mutasyabih.
6) Pengetahuan dan pemahaman yang utuh terhadap realita yang terjadi dalam masalah-masalah kontemporer.
d. Pendapat yang benar dalam masalah-masalah ijtihadiyah hanya satu dan tidak berbilang, dengan keyakinan jika terdapat perbedaan pandangan dalam masalahmasalah tersebut, maka setiap yang berijtihad akan mendapatkan dua pahala jika benar dan satu pahala jika salah.
e. Tidak boleh mengingkari orang yang berbeda pendapat dalam masalah ijtihadiyah, apalagi sampai mengkategorikannya fasik atau kafir.
f. Fatwa adalah penjelasan terhadap sebuah hukum syar’i.
g. Fatwa memiliki urgensi dan kedudukan yang sama dengan ijtihad, begitu pula seorang yang berfatwa harus memiliki kriteria yang sama dengan apa yang telah dijelaskan dalam ijtihad.
2. Urgensi ijtihad dan fatwa jama’i (kolektif).
DSA WI memandang:
a. Ijtihad dan fatwa jama’i adalah ijtihad dan fatwa yang dilakukan oleh sekelompok ulama dengan mengerahkan segala kemampuan mereka untuk memutuskan sebuah hukum syar’i yang bersifat umum atau khusus.
b. Ijtihad dan fatwa jama’i akan mendekatkan kepada kebenaran karena dilakukan secara bersama-sama yang lebih mudah untuk diterima dan lebih memberikan hasil yang menenangkan.
c. Ijtihad dan fatwa jama’i sangat ditekankan terutama dalam menyikapi persoalanpersoalan kontemporer yang bersifat umum dan khusus di mana diperlukan pengetahuan dan kepakaran pada masalah tersebut yang terkadang hal itu tidak dimiliki oleh individu-individu tertentu.
d. Perlunya hubungan yang kuat dan erat antar lembaga-lembaga fatwa -khususnya dalam satu wilayah yang sama-, dan saling mengambil manfaat antar lembaga tersebut terutama dalam menyikapi persoalan-persoalan keumatan dan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

B. Pandangan DSA WI terhadap Mazhab-Mazhab Fikih

DSA WI memandang bahwa:
1. Mazhab-mazhab fikih yang ada seperti mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan yang lainnya yang masuk dalam kategori Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah mazhab yang muktabar yang harus dihormati.
2. Bermazhab dengan mazhab tertentu adalah dibolehkan dengan beberapa batasan:
a. Tidak menjadikan mazhab tersebut sebagai patokan wala dan bara.
b. Tidak meyakini bahwa wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk mengikuti salah satu mazhab dari mazhab-mazhab tersebut.
c. Menyakini bahwa imam/mazhab yang diikuti tidak memiliki kewajiban untuk ditaati melainkan karena ia telah menyampaikan ajaran agama dan syariat Allah dan bukan karena kewajiban untuk mengikuti salah satu imam/mazhab.
d. Dalam bermazhab seseorang harus menghindari sikap-sikap berikut ini:
1) Sikap Ta’ashshub, perpecahan, dan perselisihan di kalangan kaum muslimin.
2) Menolak wahyu Alquran dan hadis dan mengedepankan perkataan imam/mazhab yang tidak disertai dalil.
3) Memenangkan mazhab tersebut dengan landasan hadis-hadis lemah dan pendapat yang tidak kuat dari kalangan pengikut mazhab tersebut.
4) Mendudukkan imam mazhab seperti kedudukan Nabi shallallahu alaihi wasallam yang wajib diikuti.

C. Pandangan DSA WI Terhadap Sumber Hukum Islam yang Disepakati

DSA WI memandang bahwa Alquran, As-Sunnah, ijma, dan qiyas merupakan dalil-dalil yang disetujui oleh para ulama ahlus sunnah wal jamaah dan perincian masing-masing dalil ini sebagai berikut:
1. Alquran
DSA WI memandang bahwa Alquran termasuk dalil yang disepakati dalam pengambilan hukum Islam, berdasarkan kesepakatan para ulama.
a. Alquran adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang merupakan mukjizat tersendiri yang tilawahnya bernilai ibadah.
b. Alquran diturunkan dalam Bahasa Arab yang tidak bercampur dengan yang lainnya.
c. Semua ayat yang terdapat dalam Alquran dapat dipahami maknanya dan tidak ada satu ayat pun yang tidak memiliki makna, dan inilah yang disebut dengan ayat-ayat muhkam.
d. Di antara ayat-ayat Alquran ada yang ta’wilnya hanya diketahui oleh Allah, seperti ruh, waktu kiamat, dan ajal, dan inilah yang disebut dengan ayat-ayat mutasyabih.
e. Qiraah yang syadzah (qiraah yang tidak mutawatir) tidak termasuk Alquran meskipun kedudukannya sebagai hujjah diperselisihkan di kalangan para ulama.
f. Tidak terdapat makna majaz dalam ayat-ayat berkaitan dengan sifat Allah. Adapun selain pada ayat-ayat sifat, maka bisa terdapat makna majazi dengan syarat bahwa perkataan tersebut tidak dapat dipahami sesuai makna hakikinya, dan ini merupakan pendapat sebagian Ahlus Sunnah.
2. As-Sunnah
DSA WI memandang bahwa As-Sunnah termasuk dalil yang disepakati dalam pengambilan hukum Islam, berdasarkan kesepakatan para ulama.
a. Sunnah atau Hadis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah segala hal yang bersumber dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam baik berupa perkataan, perbuatan, maupun diam sebagai bentuk persetujuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
b. Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah salah satu diantara sumbersumber hukum syariat Islam berdasarkan Ijma’/konsensus ulama Islam.
c. Posisi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam setara dengan Alquran karena keduanya merupakan wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berfungsi untuk menetapkan hukum syariat sebagaimana halnya Alquran.
d. Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wassalam terkadang menyebutkan perkara yang persis dengan isi Alquran dan terkadang juga merincikan perkara-perkara yang disebutkan secara global di dalam Alquran dan terkadang menyebutkan perkara-perkara yang tidak disebutkan di dalam Alquran. ketiga bentuk sunnah ini adalah merupakan hujjah atau dasar dalam menetapkan hukum syariat.
e. Ucapan atau sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berlaku umum terhadap seluruh umat. Adapun perbuatan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka ada yang bersifat khusus bagi beliau yang tidak disyariatkan kepada seluruh umat dan ada yang berlaku umum untuk seluruh umat.
f. Diamnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang menjadi landasan hukum adalah ketika salah seorang di antara sahabat beliau melakukan suatu perbuatan atau ucapan di hadapan atau atas sepengetahuan beliau namun beliau diamkan dan tidak menanggapinya.
g. Hadis Rasulullah shallallahu alaihi wassallam ditinjau dari jalur periwayatannya terbagi menjadi Mutawatir dan Ahad.
h. Hadis Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang di mana mereka mustahil bersepakat untuk berdusta sementara Hadis Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang atau lebih namun belum mencapai derajat Mutawatir.
i. Baik Hadis Mutawatir maupun Hadis Ahad keduanya adalah dasar hukum dalam syariat baik perkara hukum maupun perkara akidah selama hadis tersebut memenuhi syarat hadis yang shahih atau Hasan.
3. Ijma’
DSA WI memandang bahwa Ijma’ (konsensus para ulama) adalah termasuk dalil yang disepakati dalam pengambilan hukum Islam, berdasarkan kesepakatan para ulama.
a. Ijma’ adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada suatu masa setelah zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam perkara agama.
b. Ijma’ berdasarkan bentuknya terbagi menjadi dua bagian:
1) Ijma’ Qauli (Sarīh)
2) Ijma’ Sukūti
c. Ijma’ berdasarkan pelakunya terbagi menjadi dua:
1) Ijma’ ‘Ammah (kesepakatan seluruh kaum muslimin dalam perkara yang ma’lum min ad-din bi ad-darurah)
2) Ijma’ Khāssah (kesepakatan para ulama mujtahid)
d. Ijma’ berdasarkan waktu terjadinya, terbagi dua:
1) Ijma’ sahabat
2) Ijma’ setelah zaman sahabat
e. Landasan Ijma’ dapat diketahui dalam tiga poin:
1) Kaum muslimin bersepakat bahwa umat Islam tidak mungkin bersepakat kecuali dengan landasan dalil syar’i, maka tidak mungkin umat akan bersepakat dengan landasan hawa nafsu atau tanpa didasari ilmu dan dalil yang jelas.
2) Landasan Ijma’ bersumber dari Alquran dan Sunnah Rasulullah.
3) Bolehnya menjadikan ijtihad dan qiyas sebagai landasan Ijma’ selama ijtihad dan qiyas tersebut bersumber dari nash yang shahih.
f. Konsekuensi Ijma’ sebagai dalil yang disepakati dalam pengambilan hukum Islam:
1) Kewajiban mengikuti Ijma’ dan haramnya menyelisihi Ijma’ tersebut.
2) Ijma’ adalah sesuatu yang benar dan haq, yang tidak mungkin menyelisihi nash.
3) Seseorang yang mengetahui suatu hukum yang berlandaskan Ijma’ kemudian mengingkarinya, maka ia telah terjatuh dalam kekufuran.
4) Jika suatu hukum telah berlandaskan Ijma’, maka tidak dibenarkan berijtihad dalam permasalahan yang sama.
5) Mencukupkan pendalilan dengan Ijma’ dibolehkan tanpa menyebut landasan dalil dari Ijma’ tersebut.
6) Penyebutan Ijma’ dalam rangkaian dalil-dalil memperkaya pendalilan dalam penjelasan hukum sebuah masalah.
7) Ijma’ menjadikan dalil-dalil yang tadinya memiliki kekuatan hukum zanni, menjadi qath’i.
4. Qiyas (Analogi)
DSA WI memandang bahwa qiyas termasuk dalil yang disepakati dalam pengambilan hukum Islam berdasarkan kesepakatan para ulama.
a. Qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illah antara dua kejadian. Dari pengertian qiyas tersebut, dipahami bahwa qiyas memiliki empat rukun:
1) Al-Ashl (Al-Maqis Alaihi) atau masalah yang hukumnya telah ditetapkan dalam nash.
2) Al-Far’u (al-Maqis) atau masalah yang ingin diketahui hukumnya lewat qiyas.
3) Al-Hukmu (Hukmu Al-Ashl) atau hukum yang telah ditetapkan pada nash pada al-ashl.
4) ‘illah (Al-Washfu Al-Jami’) yang menggabungkan hukum al-ashl dan al-far’u.
b. Qiyas menjadi sangat penting, mengingat semakin hari semakin bertambah nawazil (permasalahan kontemporer) yang tidak ada nashnya.
c. Penggunaan dalil qiyas dibenarkan dengan batasan-batasan berikut ini:
1) Tidak ada nash dalam masalah tersebut.
2) Orang yang menggunakan dalil qiyas adalah orang yang alim dan memiliki keahlian.
3) Qiyas yang digunakan memenuhi persyaratan qiyas yang shahih. Adapun persyaratan qiyas yang shahih adalah sebagai berikut:
a) Hukum asal memiliki dasar hukum yang tetap baik berlandaskan nash atau ijma.
b) Hukum asal yang menjadi sandaran qiyas adalah yang ma’qulul makna (sebab hukumnya dapat dijangkau oleh akal) agar dapat diqiyaskan kepadanya hukum far’u.
c) Illah yang ada pada Al-Far’u sama persis dengan illah yang ada pada AlAshl.
d) Hukum Al-Far’u tidak memiliki nash.
e) Hukum Al-Far’u sama dengan hukum ashl.
f) Illah yang terdapat pada hukum Al-Ashl dapat diterapkan pada hukum AlFar’u.
g) Illah ditetapkan melalui mekanisme penetapan illah yang tepat (masalikul illah), yaitu nash ijma atau istinbat.
h) Illah yang diperoleh dari jalan istinbat tidak menyelisihi nash atau ijma.
i) Jika illah ditetapkan lewat jalan istinbat, maka illah tersebut harus berupa sifat yang sesuai dan dapat diterapkan hukum di atas sifat tersebut.
j) Qiyas yang benar adalah qiyas yang digunakan pada hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah atau praktik, maka qiyas dalam masalah akidah dan tauhid tidak dibenarkan jika menjurus kepada bid’ah dan ta’til (meniadakan) nama-nama dan sifat-sifat Allah.

D. Pandangan DSA WI terhadap Sumber Hukum yang Diperselisihkan

1. Al-Istishab
DSA WI memandang bahwa Al-Istishab termasuk dalil yang muktabar untuk pengambilan hukum Islam.
a. Istishab adalah menetapkan segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali jika telah ada yang mengubahnya. Termasuk Istishab adalah penetapan ketidakberadaan hukum yang tidak ada pada masa lalu.
b. Istishab juga bisa diistilahkan dengan kembali ke hukum asal dalam perkara yang tidak diketahui keabsahannya dan juga tidak adanya dalil yang meniadakannya.
c. Dibolehkan beramal dengan istishab dengan beberapa syarat, di antaranya: berusaha semaksimal mungkin mencari dalil yang merubah hukum asal yang ada, kemudian meyakini secara pasti atau minimal persangkaan yang besar bahwa tidak adanya dalil yang merubah hukum asal tersebut.
d. Oleh sebab itu, beramal dengan istishab bisa menjadi qathi jika diyakini bahwa tidak adanya dalil yang merubah hukum asal tersebut.
e. Beramal dengan istishab bisa juga menjadi dzanni jika kemungkinan besar memang tidak ada dalil yang menolak hukum tersebut.
f. Meninggalkan suatu amalan dengan dalil istishab bisa menjadi qathi jika diyakini adanya dalil yang menjelaskan tentang kebenaran amalan tersebut, dan meninggalkan suatu amalan dengan dalil istishab bisa menjadi dzanni jika memang kemungkinan besar adanya dalil yang membenarkan ketiadaan amalan tersebut.
g. Istishab adalah landasan terakhir dalam berfatwa yang dijadikan tempat kembali para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Terkadang istishab juga sesuai dengan dalil-dalil khusus yang menjadikan istishab itu menjadi kuat, dan terkadang istishab juga tidak sesuai dengan dalil-dalil yang khusus, maka landasan dalam istishab ini adalah ketiadaan dalil yang dinukilkan.
h. Ketika mengamalkan istishab dengan landasan tidak adanya dalil yang dinukilkan pada suatu permasalahan, maka harus berhati-hati dalam prakteknya untuk tidak melebihi dari kadar yang semestinya.
2. Qaul Ash-Shahabi (Perkataan Sahabat Nabi)
DSA WI memandang bahwa perkataan sahabat nabi termasuk dalil yang muktabar.
a. Perkataan sahabat nabi dalam perkara yang tidak ada ruang bagi akal dan ijtihad untuk menentukannya, maka perkataan sahabat ini dihukumi marfu sampai kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dan bisa digunakan untuk beristidlal dan dijadikan hujjah.
b. Jika terjadi perbedaan pendapat di antara para sahabat, maka hal ini tidak bisa dihukumi sebagai sebuah perkara ijma’ di antara mereka. Tidak boleh bagi seorang mujtahid setelah zaman sahabat untuk taqlid tetapi diwajibkan bagi seorang mujtahid untuk memilih pendapat para sahabat sesuai dengan dalil yang dipilih oleh mayoritas sahabat dan tidak dibenarkan keluar dari pendapat-pendapat mereka.
c. Jika ada pendapat salah seorang sahabat nabi yang masyhur di kalangan para sahabat dan tidak ada yang mengingkarinya maka pendapat tersebut menjadi ijma dan hujjah menurut pendapat mayoritas para ulama. Adapun jika pendapat salah seorang sahabat tidak masyhur dan tidak ada yang menyelisihinya atau masih diragukan kemasyhurannya dalam masalah itijhadiyah, maka pendapat sahabat tersebut adalah hujjah menurut mayoritas ulama.
d. Berkaitan dengan pendapat sahabat yang tidak masyhur maka para ulama memberikan 2 syarat agar pendapat tersebut bisa dijadikan hujjah.
1) Tidak menyelisihi dalil-dalil yang ada.
2) Tidak bertentangan dengan qiyas.
e. Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi permasalahan jika sekiranya pendapat sahabat bertentangan dengan qiyas. Sebagian mendahulukan pendapat sahabat, dan sebagian yang lain mendahulukan qiyas.
3. Syar’u man Qablana
DSA WI memandang bahwa syar’u man qablana termasuk dalil yang muktabar dalam pengambilan hukum Islam.
a. Syari’ah Islamiyah menghapus semua syariat yang telah ada sebelumnya.
b. Syar’u man qablana menjadi syariat kita menurut ijma para ulama jika syariat tersebut memang terdapat pada zaman sebelum syariat rasulullah shallallahu alaihi wasallam, kemudian ditetapkan dan ditegaskan keberadaan syariat tersebut di zaman rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
c. Syar’u man qablana tidak bisa dijadikan hujjah menurut ijma para ulama pada 2 keadaan, yaitu:
1) Jika syariat tersebut tidak terdapat di zaman sebelum Rasulullah seperti israiliyyat.
2) Jika syariat tersebut memang ada di zaman sebelum Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, akan tetapi syariat islam menjelaskan bahwa syariat tersebut telah dihapus di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
4. Al-Istihsan
DSA WI memandang bahwa Istihsan termasuk dalil yang muktabar dalam pengambilan hukum Islam.
a. Istihsan adalah mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil yang ada.
b. Ulama yang menetapkan istihsan dan berhujjah dengannya sesungguhnya yang mereka maksudkan adalah makna istihsan dengan makna yang benar, sedangkan ulama yang mengingkari istihsan dan mencela mereka yang berhujjah dengannya maka yang mereka maksudkan adalah makna istihsan yang batil, yaitu apa yang dianggap baik oleh mujtahid berdasarkan akalnya semata tanpa berlandaskan kepada landasan syariat.
c. Mengamalkan istihsan dengan makna yang benar adalah perkara yang disepakati para ulama, walaupun ada sebagian dari mereka berbeda pendapat dalam pengistilahan apakah dia istihsan atau tidak.
5. Al-Mashlahah Al-Mursalah
DSA WI memandang bahwa Al-Mashlahah Al-Mursalah termasuk dalil yang muktabar dalam pengambilan hukum Islam.
a. Hubungan antara maslahat dan syariat:
1) Syariat ini dibangun atas dasar untuk memberikan maslahat kepada manusia dan menolak mafsadat di dunia maupun di akhirat.
2) Syariat ini tidak mungkin melewatkan maslahat sedikitpun dan tidaklah sebuah kebaikan kecuali Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memotivasi kita untuk melakukannya dan tidaklah sebuah keburukan kecuali beliau telah melarang kita darinya.
3) Jika diketahui bahwa tidak ada maslahat yang terlewatkan sedikitpun, maka tidak mungkin terjadi kontradiksi antara syariat dengan maslahat.
4) Jika diketahui ada seorang yang mengaku bahwa ada maslahat yang terluput dari syariat ini, maka terdapat dua kemungkinan:
a) Maslahat itu sudah ada dalam syariat ini tapi dia tidak mengetahuinya.
b) Bisa jadi apa yang dia yakini merupakan suatu maslahat tapi pada hakikatnya bukanlah suatu maslahat.
b. Al-Mashlahah Al-Mursalah adalah maslahat yang tidak ada dalil syara’ yang mendukung atau menolak maslahat tersebut.
c. Maslahat jika dilihat dari sisi hukum asalnya terbagi menjadi beberapa bagian:
1) Maslahat dalam menjaga agama.
2) Maslahat dalam menjaga diri atau jiwa.
3) Maslahat dalam menjaga akal.
4) Maslahat dalam menjaga nasab atau keturunan.
5) Maslahat dalam menjaga harta.
d. Pembagian Al-Mashlahah Al-Mursalah berdasarkan pengaruh dan kebutuhannya terbagi menjadi tiga bagian:
1) Maslahat yang bersifat primer yang biasa diistilahkan sebagai menolak bahaya atau keburukan.
2) Maslahat yang bersifat sekunder yang biasa diistilahkan sebagai mengambil manfaat.
3) Maslahat yang bersifat tersier yang biasa diistilahkan sebagai pelengkap.
e. Beramal dengan Al-Mashlahah Al-Mursalah tentu harus dengan kehati-hatian, agar maslahat yang diinginkan tercapai dan tidak bertentangan dengan maslahat yang lebih rajih, atau mafsadah (dampak buruknya) lebih kuat daripada mengambil maslahat itu sendiri, atau minimal sama antara maslahat dan mafsadahnya.
f. Al-Mashlahah Al-Mursalah dapat dijadikan hujjah dengan batasan-batasan sebagai berikut.
1) Al-Mashlahah Al-Mursalah bisa digunakan jika tidak bertentangan dengan nash-nash atau ijma.
2) Al-Mashlahah Al-Mursalah bisa digunakan jika berlandaskan penjagaan dan perlindungan kepada Maqashid Syariah.
3) Al-Mashlahah Al-Mursalah tidak dapat digunakan dalam persoalan-persoalan yang hukumnya telah tetap (paten).
4) Al-Mashlahah Al-Mursalah bisa digunakan jika tidak bertentangan dengan maslahat yang lebih rajih atau minimal sama, dan jika diamalkan tidak menimbulkan mafsadah yang lebih besar daripada mengambil maslahat tersebut atau minimal sama antara maslahat dan mafsadah. Dalam hal ini, di antara kaidah yang memperkuat adalah kaidah Saddu Adz-Dzara’i dan pembatalan setiap hilah yang perinciannya sebagai berikut:
a) Syariat kita telah datang dengan kaidah Saddu Adz-Dzara’i, yaitu mengharamkan hal-hal yang bisa menjerumuskan ke dalam perbuatan yang dilarang.
b) Para ulama bersepakat bolehnya mengamalkan kaidah Saddu Adz-Dzara’i.
c) Batasan-batasan dalam mengamalkan Saddu Adz-Dzara’i:
– Sesuatu yang mubah bisa menjadi terlarang jika diyakini secara pasti akan mengantarkan kepada keharaman atau mafsadah.
– Saddu Adz-Dzara’I tidak bertentangan dengan maslahat yang berlandaskan dari nash-nash yang ada.
– Saddu Adz-Dzara’i tidak bertentangan dengan kebutuhan yang mendesak.
– Saddu Adz-Dzara’i tidak bertentangan dengan maslahat yang lebih rajih.

E. Kedudukan Akal Manusia dalam Pengambilan Hukum

DSA WI memandang bahwa sumber penetapan hukum pada dasarnya adalah Alquran dan Sunnah. Sedangkan akal berfungsi untuk mencerna kandungan dari dua sumber primer hukum Islam ini.
1. Akal merupakan syarat mengetahui berbagai macam ilmu pengetahuan serta menjadi dasar kesempurnaan suatu amalan. Karena itu, akal menjadi syarat sahnya suatu amalan bagi seorang mukallaf.
2. Selain dalil naqli, dalil aqli juga dipakai dalam menetapkan hukum Islam seperti Qiyas, Istihsan, Maslahah Mursalah, Istishab, dan dalil-dalil aqli lain yang membutuhkan ijtihad.
3. Akal tidak boleh berdiri sendiri dalam menetapkan hukum. Ia harus bersandar pada syariat.
4. Hukum-hukum syar’i tidak akan bertentangan dengan akal dan fitrah. Karena itu, akal yang sehat tidak akan bertentangan dengan dalil yang shahih.
5. Jika akal bertentangan dengan hukum-hukum Islam berdasarkan dalil yang shahih, maka penetapan hukum Islam yang berdasarkan dalil yang qathi’i harus diutamakan.

F. Pandangan DSA WI terhadap Masalah yang Diperselisihkan (At-Ta’arudh wa At-Tarjih)

DSA WI memandang bahwa tidak ada dalil-dalil yang shahih yang saling bertentangan dan kontradiktif, karena semuanya berasal dari satu sumber yang sama. Sehingga apabila terdapat masalah yang diperselisihkan maka hal itu dapat disebabkan oleh dua alasan:
1. Apabila masalah tersebut merupakan perkara nawazil/kontemporer yang tidak terdapat dalil yang shahih dan sharih/jelas untuk persoalan tersebut. Sehingga para ulama berbeda pendapat tentang hukum syar’iynya berdasarkan perbedaan pandangan terhadap dalil-dalil yang musyabihah/mirip. Maka DSA WI memandang untuk mengamalkan dalil-dalil yang lebih dekat kepada kebenaran untuk masalah tersebut dengan tetap merujuk kepada pendapat dan penjelasan para ulama yang dilandaskan atas ijtihad kolektif.
2. Apabila masalah tersebut merupakan perkara yang telah memiliki dalil-dalil syar’iy namun terdapat kontradiksi antara dalil-dalil tersebut, baik dari sisi kekuatan dalil tersebut ataupun dari sisi pendalilan (wajhul istidlal), maka dalam hal ini adalah:
a. Dalil-dalil yang kontradiktif maka terdapat 4 metode yang digunakan oleh para ulama, yaitu:
1) Metode Nasakh: yaitu menghapus salah satu dalil yang saling bertentangan apabila diketahui salah satunya lebih mutaakhir dari dalil yang lainnya dengan syarat kedua dalil tersebut memiliki kekuatan yang sama.
2) Metode Tarjih: yaitu mentarjih/menguatkan salah satu dalil yang saling bertentangan dengan berpatokan kepada sebab-sebab tarjih, apabila tidak diketahui salah satu dalil yang mutaakhir dari dalil yang lainnya.
3) Metode Jama’: yaitu menggabungkan antara dalil-dalil yang saling bertentangan untuk menghasilkan pendapat yang mengakomodir seluruh dalil tersebut.
4) Metode Tarkul ‘Amal/Tawaqquf: yaitu dengan tidak mengamalkan dalil-dalil yang saling bertentangan tersebut sampai nampak metode sebelumnya yang dapat digunakan.
b. DSA WI memandang bahwa apabila terdapat dua dalil atau lebih saling bertentangan dalam sebuah masalah maka metode yang ditempuh adalah sebagai berikut:
1) Metode Jama’ dengan menggabungkan dalil-dalil yang saling bertentangan tersebut guna menghasilkan pendapat yang mengakomodir seluruh dalil yang sesuai dengan pandangan para ulama yang memilih pandangan ini. Metode ini didahulukan karena mengamalkan seluruh dalil yang ada jauh lebih baik dibandingkan mentarjih salah satunya dan meninggalkan dalil lainnya.
2) Apabila metode jama’ tidak dapat dilakukan maka jika diketahui dalil yang lebih mutaakhir yang menasakh atau menghapus dalil yang lainnya maka hal ini dilakukan.
3) Apabila metode yang kedua tidak dapat dilakukan maka dengan mentarjih atau menguatkan dan memilih salah satu dalil dengan berlandaskan murajihat (sebab-sebab pentarjihan) yang ada.
4) Apabila metode yang ketiga juga tidak dapat ditempuh, maka pilihan terakhir adalah tawaqquf atau tidak mengamalkan dalil-dalil yang saling kontradiktif tersebut sampai nampak qarain (dalil-dalil pendukung) yang menguatkan salah satu dari tiga metode sebelumnya.

G. Mekanisme Ijtihad dan Fatwa Kolektif DSA WI

1. Definisi Fatwa Kolektif DSA WI
Fatwa Kolektif DSA WI adalah keputusan yang dikeluarkan dan ditetapkan secara resmi oleh DSA WI setelah melalui proses musyawarah dalam rapat terbatas pengurus harian DSA WI. Dan hasil musyawarah tersebut menghasilkan fatwa resmi, yang kemudian dituangkan dalam surat keputusan (SK).
2. Otoritas Fatwa Kolektif DSA WI
DSA WI memiliki hak otoritas penuh dalam mengeluarkan fatwa dalam ruang lingkup ormas WI. Sehingga fatwa yang tertuang dalam surat keputusan tersebut bersifat:
a. Mengikat seluruh kader WI tanpa terkecuali dan secara khusus menjadi acuan bagi da’i Wahdah Islamiyah dalam menjawab persoalan di tengah masyarakat,
b. Serta berlaku secara tidak mengikat kepada para simpatisan dan seluruh masyarakat muslim Indonesia.
3. Dasar Penetapan Fatwa Kolektif DSA WI
Penetapan fatwa DSA WI secara umum berdasar kepada sumber hukum Islam yang terdiri dari dalil-dalil syar’i yang dipandang muktabar oleh para ulama yang senantiasa menyelaraskan antara dalil naqli dan dalil aqli. Yang secara khusus telah dijelaskan pada poin C, D, E, dan F.
4. Metode Penetapan Fatwa Kolektif DSA WI
Fatwa resmi ditetapkan dalam rapat terbatas pengurus harian DSA WI. Sebelum dibahas dalam rapat, sebuah masalah telah melalui kajian komprehensif terlebih dahulu guna memperoleh deskripsi utuh tentang objek masalah (tashawwur al-masalah), mengetahui secara jelas titik permasalahan. Setelah dilakukan kajian terhadap permasalahan tersebut, maka DSA WI dalam rapat terbatasnya mengeluarkan fatwa resmi yang dituangkan dalam bentuk surat keputusan dengan mempertimbangkan maqāsid syari’ah dan memperhatikan dampak sosial keagamaan yang ditimbulkan dan titik kritis dari berbagai aspek hukum (norma syari’ah) yang berkaitan dengan masalah tersebut.
Kajian komprehensif terhadap suatu masalah dilaksanakan jika terdapat:
a. Permintaan atau pertanyaan yang dilayangkan secara pribadi dari kader atau masyarakat (konsultasi syariah);
b. Permintaan fatwa dari internal lembaga/organisasi WI terhadap suatu permasalahan;
c. Perkembangan dan temuan masalah-masalah keagamaan yang muncul akibat perubahan sosial kemasyarakatan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni budaya.
Menanggapi ketiga hal tersebut, maka Dewan Syariah melalui rapat pekanan pengurus harian DSA WI:
a. Mempertimbangkan dan memutuskan untuk dilakukan kajian komprehensif pada masalah yang dianggap penting, sebelum dibahas kembali pada rapat terbatas penetapan fatwa.
b. Jika suatu masalah dianggap tidak terlalu rumit dan bersifat mendesak, maka Dewan Syariah merekomendasikan langsung dibawa kepada rapat terbatas penetapan fatwa.
c. Dan jika suatu masalah dianggap memerlukan kajian yang mendalam ataukah permasalahan tersebut termasuk nāzilah, maka Dewan Syariah mengamanahkan kepada salah seorang/tim anggota Dewan Syariah untuk membahasnya dalam sebuah makalah ilmiyah, yang seterusnya dipresentasikan dalam kesempatan Liqā ‘Ilmi.
5. Prosedur Pelaksanaan Liqā ‘Ilmi
a. Liqā ‘Ilmi diselenggarakan oleh Dewan Syariah yang didahului dengan penugasan makalah ilmiyah kepada salah seorang (atau tim) anggota dewan syariah.
b. Liqā ‘Ilmi menghadirkan beberapa pemakalah dalam satu kesempatan dengan materi yang berbeda yang dibagi dalam beberapa sesi.
c. Liqā ‘Ilmi harus dihadiri oleh para anggota Komisi yang jumlahnya dianggap cukup memadai oleh ketua Dewan Syariah.
d. Dalam Liqā ‘Ilmi, Dewan Syariah juga menghadirkan atau mengundang beberapa pihak diantaranya:
1) Seluruh anggota pleno DSA WI.
2) Pihak yang terkait.
3) Para pakar dalam bidangnya atau tenaga ahli yang berkaitan dengan masalah yang akan difatwakan untuk dimintai tanggapan dan komentar yang terkait dengan bidang keahliannya.
e. Dalam setiap sesi pada Liqā ‘Ilmi, para pemateri memaparkan hasil kajiannya di depan para peserta Liqā ‘Ilmi. Kemudian peserta menanggapi pemateri dalam bentuk pertanyaan, penjelasan, atau sekedar saran yang terangkai dalam sebuah diskusi yang lebih mendalam.
f. Setelah materi dan diskusi berakhir, pemateri atau pengarah acara (dengan arahan ketua Dewan Syariah) membacakan poin-poin yang merupakan rekomendasirekomendasi yang dibawa ke rapat terbatas penetapan fatwa.
6. Format Surat Keputusan (SK) Fatwa DSA WI
a. Kepala surat yang berisi redaksi (SURAT KEPUTUSAN DEWAN SYARIAH WAHDAH ISLAMIYAH).
b. Nomor dan Tema Fatwa.
c. Konsideran yang terdiri atas:
1) Menimbang; memuat latar belakang dan alasan serta urgensi penetapan fatwa.
2) Mengingat; memuat dasar-dasar hukum (adillah al-aḥkām, kaidah-kaidah ushul dan kaidah-kaida fikih) yang berbentuk nash syar’i, terjemahan dalam bahasa Indonesia dan penjelasan terkait penggunaan dalil sebagai argumen (wajhu al-dilalah).
3) Memperhatikan; memuat pendapat para ulama, peserta rapat, para ahli, dan hal-hal lain yang mendukung penetapan fatwa.
d. Diktum yang memuat:
1) Ketentuan Umum; yang berisi tentang definisi dan batasan pengertian masalah yang terkait dengan fatwa, jika dipandang perlu.
2) Ketentuan Hukum; yang berisi tentang substansi hukum yang difatwakan. Dan jika terjadi perbedaan subtansi hukum antara sesama anggota Dewan Syariah, maka disebutkan bahwa keputusan diambil dari pendapat mayoritas.
3) Rekomendasi dan/atau solusi masalah jika dipandang perlu.
e. Lampiran-lampiran terkait masalah yang difatwakan, jika dipandang perlu.
f. Tanda tangan ketua dan sekertaris Dewan Syariah Wahdah Islamiyah.
g. Terhadap beberapa fatwa yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut, fatwa dapat diberikan penjelasan agar dapat dipahami secara utuh oleh masyarakat.

H. Penutup

Demikianlah metode ini dibuat dengan harapan agar dijadikan sebagai acuan dan panduan oleh setiap anggota DSA WI dalam menetapkan hasil ijtihad dan fatwa. Semoga Allah subhanahu wata’ala memberikan taufik dan hidayahnya dan semoga selawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Sumber dari: https://wahdah.or.id/metodologi-ijtihad-dan-fatwa-dewan-syariah-wahdah-islamiyah/

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »